Kuda dikekang, Singa dikandang, Manusia?


 OPINI

Source : wallbase.cc

“Orang yang sabar melebihi seorang pahlawan, orang yang menguasai dirinya, melebihi orang yang merebut kota.”

Kutipan di atas adalah Amsal Salomo yang menggambarkan betapa hebat dan perkasanya orang yang mampu mengendalikan diri. Apakah memang sesulit itu bagi manusia untuk mengendalikan dirinya?
Akhir-akhir ini kasus George Floyd yang mendapat perlakuan keji oleh salah satu oknum polisi mendapatkan kecaman yang keras dari seluruh dunIa. Sulit memang, menahan rasa yang bergolak di dada saat menonton cuplikan Floyd saat memohon untuk nyawanya. Rasa keadilan dan hak seorang manusia untuk hidup, seolah-olah dipandang remeh dan tidak berarti.

It is a broad topic indeed. Membicarakan hal-hal kemanusiaan memang tidak akan ada habisnya, kasus demi kasus yang membuat kita geleng kepala, berbagai kejadian menyayat hati selalu hadir setiap hari tiap detik. Hanya saja, inilah (kasus George Floyd) yang terbaru di saat yang tidak tepat, terekspos, dan mendapat perhatian lebih banyak.

Memanusiakan Manusia

Membuat manusia menjadi seorang manusia, tidak melulu dilakukan dengan melatih kognitif. Memanusiakan manusia tidak hanya dari pengetahuan intelektual, tetapi juga dari segi afektif dan behavioural.

Apa hal yang membedakan manusia dari spesies lainnya? Mengapa manusia menjadi mahluk hidup yang menguasai mahluk lain? Apa yang menjadikan manusia spesial?

Menurut Suzana Herculano Houzel, neuroscientist asal Brazil, manusia adalah spesies dengan jumlah neuron terbanyak pada korteks otaknya, yakni 16 miliar neuron. Hal inilah yang membuat manusia lebih beradab dan memiliki kemampuan kognitif luar biasa. Namun dengan kemampuan kognitifnya tersebut, apakah menjamin untuk seorang manusia tetap bersikap beradab yang jauh dari kata “liar”?

Buddha, menggambarkan pikiran manusia dengan perumpamaan seekor gajah dan pengendaranya. Gajah adalah representasi dari emosi manusia. Sedangkan, pengendaranya yang memegang tali pengekang adalah logika manusia. Terkadang sang gajah menarik lebih kuat ke arah berlawanan, meskipun si pemegang kendali yakni pengendaranya ingin mencapai tujuan yang dimaksud.

Jonathan Haidt dalam bukunya Happiness Hypothesis membahas keunikan dalam pikiran manusia. Bahwa, manusia sering kali tidak menyadari bahwa apa yang membentuknya di masa depan ditentukan dari kebiasaannya sehari-hari, dan untuk membentuk kebiasaan tersebut, dibutuhkan penngendalian emosional yang handal. Faktanya, emosi dalam pikiran manusia jauh lebih “kuat” ketimbang logika manusia itu sendiri. Logika mengatakan “olahraga adalah hal yang sangat baik bagi tubuh”, tetapi terkadang emosi mengatakan “olahraga bisa dilakukan besok, lebih baik menonton drama favourit”.

Ya, “emosi” ini biasa juga dikenal sebagai hasrat, nafsu, dan sesuatu yang menggebu-gebu atau tidak tertahankan. Maka dari itu, orang-orang yang handal mengendalikan “sang gajah” dapat dibilang sebagai orang-orang yang cerdas secara emosional atau memiliki emotional intelligence yang tinggi, karena kemampuan untuk menahan, mengalihkan, membangun strategi untuk mengendalikan “sang gajah”.

Sebagai manusia, kita harus selalu sadar akan kehadiran sang gajah, yang memiliki kekuatan besar. Manusia, tidak bisa membiarkan emosinya mengambil alih dan menjadi pembuat keputusan. Sebaliknya, logika juga tidak dapat berjalan sendiri tanpa emosinya. Keduanya harus berjalan selaras untuk mendapatkan tujuan yang terbaik, bahkan mencapai perubahan masa depan yang lebih baik.

Hatred is Overrated

Setelah melihat dampak negatif dari menuruti “sang gajah”, kita harus mengetahui apa sesungguhnya kebutuhan manusia dalam kehidupan ini. Jawabannya sederhana, yakni kebahagiaan.

Apa arti kebahagiaan? Banyak orang melakukan berbagai hal untuk mencapai kebahagiaan, perasaan senang, puas, dan terpenuhi yang membuat hidup jauh lebih berwarna. Robert Weldinger, seorang psikiater, melakukan penelitian terhadap pertanyaan ini selama 75 tahun. Berbeda dengan generasi masa kini, yang menginginkan kekayaan dan popularitas sebagai kebahagiaannya, menurut Weldinger, kebahagiaan sesungguhnya didapatkan dari rasa mengasihi yang muncul dalam sebuah hubungan yang baik.

Hubungan yang baik dengan siapapun, memungkinkan kita terlepas dari rasa kesepian. Hubungan yang baik dengan orang-orang di sekitar kita, menimbulkan rasa kepuasan dan penuh dengan cinta. Sebaliknya, orang-orang yang hidup dengan rasa benci, dendam, keinginan untuk melakukan pembalasan, mengalami efek yang negatif selama kehidupannya.

Waldinger mengatakan, sakit emosional yang ditimbulkan dalam diri manusia, lebih memiliki pengaruh yang besar ketimbang penyakit fisik. Sering kali, manusia secara tidak sadar, mencari kepuasan dan kebahagiaan di atas penderitaan orang lain atau musuhnya. Kepuasan yang didapatkan dari hal-hal negatif seperti pembalasan dendam atau berbuat jahat kepada orang yang dibenci. Menahan kebencian dan dendam memberikan pengaruh yang buruk bagi mental manusia, dengan kata lain, mengurung diri kita dalam penjara mental.

Alih-alih menaruh diri ke dalam penjara mental, adalah lebih baik untuk memenjarakan rasa kebencian dan sikap emosional yang negatif dengan selalu “menyiram” pemikiran dengan hal-hal yang positif, yang merawat manusia jiwa kita.

Kasus George Floyd memang menyayat hati, namun dari hal ini, kita dapat belajar lebih lagi untuk mengutamakan pengendalian diri terhadap rasa kebencian yang dirasakan. Hal ini tidaklah mudah, namun tidak mustahil untuk dilakukan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nawacita Butir Tiga, Parawisata Kunci Pembangunan

Pengalaman Magang di UNDP (PBB Bidang Pembangunan)